Pola asuh yang diterapkan orang tua berpengaruh terhadap berkembangnya gejala Attention-Deficit Hyperactive Disorder (ADHD) pada anak. Tak hanya itu, kombinasi antara pola asuh, faktor genetik, dan lingkungan juga dapat memprediksi munculnya gejala ADHD pada anak. Beberapa hal yang dipengaruhi antara lain seperti usia munculnya gejala, bentuk gejala yang muncul, tingkat keparahan gejala, serta arah berkembangnya perilaku hiperaktif.
Interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak membuat mereka saling membentuk dan mempengaruhi perilaku satu sama lain seiring berjalannya waktu.
Usia kanak-kanak pertengahan, yakni 4-7 tahun, merupakan usia yang vital untuk mendeteksi gejala ADHD dan menentukan pola asuh. Karena di usia ini anak mulai masuk sekolah, dan sekolah menuntut anak untuk memiliki kemampuan mengontrol diri. Di sisi lain, anak yang memiliki gejala ADHD cenderung sulit untuk menahan dorongan untuk berperilaku impulsif.
Gejala ADHD biasanya muncul di usia preschool, berlanjut hingga usia SD, dan seterusnya. Munculnya gejala ini dapat menempatkan anak pada kondisi yang penuh risiko, seperti disfungsi sosial, pencapaian akademik yang di bawah standar, kenakalan sekolah, bahkan hingga konsumsi obat-obatan terlarang.
Gejala ADHD sendiri biasanya dapat dikenali berdasarkan beberapa poin perilaku ini:
- Cenderung fokus ke diri sendiri
- Senang menyela orang lain dan sulit menunggu giliran
- Sering tiba-tiba mengamuk
- Tidak bisa diam atau duduk tenang
- Sulit fokus ke satu hal, mudah terdistraksi, serta sulit menyelesaikan pekerjaan hingga selesai
- Sulit mengikuti instruksi/perintah
- Sering melamun dan tidak memperhatikan sekitar
- Tidak terorganisir dan mudah lupa
Pola asuh pada gejala ADHD anak
Maka dari itu, orang tua perlu memahami dan memprediksi pola asuh berdasarkan perilaku anak dan gejala ADHD yang muncul. Misalnya ketika anak menunjukkan perilaku hiperaktif atau sulit fokus. Orang tua perlu tahu gejala-gejala seperti apa yang mungkin akan berkembang menjadi ADHD pada anak.
Ketika orang tua sulit menyesuaikan tindakan mereka terhadap kebutuhan anak, besar kemungkinan anak akan membentuk perilaku buruk yang sulit dikontrol dan enggan dikekang. Untuk itu, dibutuhkan pola asuh yang responsif agar terbentuk suatu pemahaman antara orang tua dan anak, baik itu dari sisi ayah maupun ibu.
Terdapat 3 aspek penting yang menjadi ciri khas dari pola asuh yang responsif terhadap gejala ADHD, yakni:
- kepekaan (sigap dalam merespon kondisi emosional dan keinginan anak),
- kehangatan (menunjukkan rasa sayang pada anak dalam bentuk perkataan dan tindakan), serta
- ketegasan (mampu mengontrol perilaku anak dan tidak memenuhi segala keinginannya).
Pengaruh pola asuh ayah
Sosok seorang ayah biasanya sering terlibat dalam mengajari dan menemani anak bermain bersama. Hubungan anak dengan ayahnya dipercaya mampu menyokong perkembangan kompetensi anak di lingkungan di luar keluarga, contohnya di sekolah .
Sikap ayah yang cenderung cuek berpotensi menghasilkan kemampuan kontrol diri yang buruk pada anak. Ketika ayah jarang menunjukkan sikap yang suportif terhadap anak, anak berpotensi tumbuh menjadi pribadi yang kerap menunjukkan perilaku eksternalisasi. Perilaku eksternalisasi merupakan perilaku bermasalah yang ditujukan pada lingkungan luar (eksternal), seperti agresi fisik, pembangkangan terhadap peraturan, menyontek, mencuri, bahkan hingga merusak fasilitas umum.
Di sisi lain, sikap ayah yang peka terhadap anak, seperti pemberian dukungan emosional, jarang marah, serta menghargai kemandirian anak, mampu mengurangi perilaku eksternalisasi anak ketika anak tumbuh besar. Pola asuh ayah yang peka, terutama ketika bermain bersama anak, dapat mempengaruhi gejala ADHD, terutama kemampuan anak untuk fokus pada tugas dari sekolah.
Selain itu, kepekaan sosok ayah juga dipercaya dapat mengurangi kebiasaan sulit fokus pada anak, serta berkurangnya perilaku hiperaktif. Ditambah lagi, jika ayah menjadi sosok yang diwarnai kehangatan, maka besar kemungkinan anak akan lebih mudah diajak berkomunikasi di rumah maupun di sekolah.
Ketika anak merasakan penolakan dalam interaksi antara ayah dan anak, semakin besar kemungkinan munculnya gejala ADHD pada anak.
Pengaruh pola asuh ibu
Sosok ibu umum dipandang sebagai sosok yang lebih sering mengedepankan perasaan dan afeksi dalam membesarkan anak ketimbang sosok ayah. Oleh karena itu, seorang ibu lebih lekat dengan aspek kehangatan dan kepekaan.
Aspek kehangatan yang ada pada diri ibu mampu membuat anak semakin mudah fokus di lingkungan rumah. Rasa sayang yang muncul dalam bentuk verbal dan fisik mampu membuat anak jadi terbiasa memperhatikan orang tuanya. Kendati demikian, sosok ibu yang tegas biasanya diprediksi dapat menghasilkan anak yang sulit dan enggan fokus, serta mudah terdistraksi.
Namun di sisi lain, karena aspek kehangatan dan kepekaan sudah sewajarnya hadir pada diri ibu, seorang ibu lebih sering mengalami kesulitan untuk membawa perubahan pada diri anak secara tegas daripada sosok ayah.
Ketika masih muncul dalam bentuk gejala, ADHD masih belum memiliki beban besar dalam bentuk pola asuh yang diterapkan. Anak harus menjalani gejala-gejala di atas selama 6 bulan sebelum bisa didiagnosis dengan ADHD. Selain itu, gejala juga harus terhitung mengganggu keseharian sebelum bisa divonis sebagai ADHD akut.
Kesulitan fokus dan perilaku hiperaktif mungkin berpotensi menghadirkan masalah di rumah dan sekolah, namun orang tua dan guru juga harus mengakui bahwa setiap anak memiliki sifat dan kebiasaan yang berbeda-beda—khususnya dalam menyerap informasi dan gaya belajar. Hanya karena anak terlihat lebih aktif dari biasanya, tidak lantas anak harus diperlakukan dengan berbeda.
Referensi
Keown, L. J. (2012). Predictors of Boys’ ADHD Symptoms from Early to Middle Childhood: The Role of Father-Child and Mother-Child Interactions. Journal of Abnormal Child Psychology, 1-38.