Merawat anak yang mengidap penyakit kanker tidak hanya bisa dilakukan dengan pendekatan medis, namun juga pendekatan spiritual. Hingga kini, kanker masih menjadi salah satu penyebab utama kematian anak dan remaja di seluruh dunia. Tiap tahunnya, sekitar 300.000 anak usia 0-19 tahun didiagnosa mengidap kanker. Di sebagian negara dengan rata-rata pendapatan yang tinggi, 80 persen anak yang mengidap kanker dinyatakan sembuh. Sedangkan angka kesembuhan kanker di negara dengan pendapatan rendah hanya sekitar 20 persen.
Kebanyakan kasus kematian kanker pada anak di negara berpendapatan rendah biasanya disebabkan oleh kesalahan, kekurangan, serta keterlambatan diagnosis, kesulitan akses perawatan, penelantaran pasien, serta angka kambuh penyakit yang lebih tinggi (World Health Organization, 2018).
Dalam menghadapi hadirnya penyakit kanker pada salah satu anggota keluarga, terutama anak, tiap keluarga memiliki cara merespon yang berbeda-beda. Ada keluarga yang putus asa dan menyerah pada kematian; ada juga yang mencari-cari penyebab atau sesuatu untuk disalahkan; ada juga yang berpaling ke agama dan hal-hal spiritual guna menerima keadaan.
Hingga saat ini, perawatan spiritual pada anak pengidap kanker dan keluarganya dipercaya dapat meningkatkan harapan, ketenangan psikologis, proses penyembuhan, serta mengurangi rasa sakit, depresi, dan kecemasan. Selain itu, perawatan spiritual juga mampu menguatkan hubungan antara perawat dengan pasien, serta membantu membentuk tujuan hidup yang baru (Zakaryaee, Atashzadeh-Shoorideh, Ahmadi, & Fani, 2017).
Apa itu perawatan spiritual?
Spiritualitas pada anak merupakan elemen penting dalam berjalannya perawatan spiritual. Jiwa anak yang memiliki spiritualitas tinggi biasanya kerap terdorong untuk mencari makna hidup. Sifat ini disebut sebagai integritas spiritual. Integritas spiritual mampu mempermudah pasien kanker dalam menentukan pilihan serta mengurangi stres dan keraguan (Zakaryaee, Atashzadeh-Shoorideh, Ahmadi, & Fani, 2017).
Penerapan perawatan spiritual pada pengidap kanker harus sejalan dengan tahap perkembangan dan kebutuhan psikologis anak, serta harus dikomunikasikan dengan cara yang mudah dipahami. Seorang anak jarang menuturkan mengenai kebutuhan spiritualnya. Selain itu, anak juga biasanya belum memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memahami sebuah kebutuhan sebagai kebutuhan spiritual.
Perawatan spiritual pada anak pengidap kanker berdasarkan tahapan perkembangan
Mengacu pada teori perkembangan dan teori keyakinan yang dirancang oleh Erikson, Piaget, dan Fowler, berikut adalah beberapa saran penanganan dan perawatan spiritual bagi anak berdasarkan tahap perkembangannya (Hart & Schneider, 1997).
1. Perawatan spiritual pada balita
Kepercayaan spiritual pada balita dimulai ketika bayi membangun kepercayaan dengan pengasuh/orang tuanya. Kebutuhan spiritual pada balita muncul dalam bentuk cinta yang tulus atau cinta tak bersyarat (unconditional love). Melalui rasa cinta yang diterima oleh bayi, ia akan mulai membentuk rasa percaya, menumbuhkan rasa kepemilikan, serta merasa dirinya berharga.
Terkait merawat balita pengidap kanker secara spiritual, perawat anak perlu memastikan bahwa tidak ada perubahan dalam rutinitas hidup si bayi. Dalam kanker tingkat akhir, kehadiran orang tua merupakan elemen paling penting bagi kondisi spiritual bayi. Sejatinya, tidak ada yang mampu menggantikan kehadiran orang tua dalam perawatan spiritual bayi. Menggendong, mengelus, dan mengobrol dengan bayi merupakan beberapa bentuk kasih sayang orang tua yang tak tergantikan.
2. Perawatan spiritual pada anak usia TK
Anak usia TK belajar mengenai hal-hal di dunia melalui pengalaman hidup. Pada tahapan usia ini, anak mulai membentuk kesadaran untuk membedakan antara benar dan salah.
Ketika anak usia TK didiagnosis mengidap kanker, banyak orang tua yang mulai mengabaikan peraturan dan pola asuh serta kebiasaan yang sudah berlaku. Banyak peneliti yang percaya bahwa dengan melakukan hal tersebut, orang tua justru membuat anak semakin resah.
Orang tua harus tetap mempertahankan budaya, peraturan, pola asuh, serta kebiasaan beribadah yang sudah berlaku sebelumnya. Ritual-ritual seperti berdoa sebelum makan dan tidur, cerita para nabi kesukaan anak, dan lain-lain, harus tetap dipertahankan dan dilakukan selama anak dirawat.
3. Perawatan spiritual pada anak usia SD/SMP
Situasi yang buruk dan penuh tekanan, seperti penyakit yang mematikan, mampu memicu munculnya sifat religius pada anak usia SD/SMP. Namun di sisi lain, hubungan anak dengan Tuhan dan agama di tahapan usia ini bersifat pribadi dan tersembunyi. Anak percaya bahwa Tuhan adalah sosok pelindung, penyayang, dan adil.
Ketika anak usia ini didiagnosis mengidap kanker, anak perlu diberi pemahaman bahwa penyakit ini bukanlah hukuman dari Tuhan atas perilaku buruk mereka. Anak perlu diberi pemahaman bahwa Tuhan itu maha pemaaf. Namun untuk memberi anak pemahaman akan hal ini, anak perlu lebih dulu merasakan sikap pemaaf dari orang tuanya sendiri.
Selain itu, anak butuh bimbingan dalam berdoa. Tanyakan pada anak mengenai apa yang ingin ia sampaikan dalam doanya dan ajak anak untuk berdoa bersama. Ajaran agama dan spiritual pada tahap usia ini harus dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, tidak bertele-tele, dan dekat dengan keseharian anak.
4. Perawatan spiritual pada anak usia remaja
Anak usia remaja sudah mampu berpikir secara abstrak. Kini konsep keyakinan anak akan agama dan Tuhan sudah mampu diarahkan ke hal-hal yang bersifat ideologis dan spiritual. Orang tua bisa mengurangi porsi ritual maupun praktek agama yang ketat. Biarkan anak mengeksplorasi sendiri bentuk keyakinannya.
Biasanya, anak usia remaja yang merasa terpojok akan bergantung pada naluri mereka untuk mencari tempat bergantung dan berlindung, yakni Tuhan, sebagai kekuatan yang lebih besar. Kebutuhan spiritual anak remaja muncul dalam bentuk pencarian makna, tujuan, dan harapan dalam hidup.
Diagnosis kanker pada anak usia remaja biasanya dapat menyebabkan anak kehilangan banyak hal, seperti hilangnya rutinitas keseharian, berkurangnya stamina fisik, berubahnya bentuk tubuh, serta berkurangnya kontak sosial dari teman sebaya atau teman di sekolah. Karenanya, anak bisa saja bersikap mengecam kepercayaan agama karena berbagai kerugian yang dirasakannya.
Orang tua perlu memberikan anak remaja waktu sendiri untuk berduka atas berbagai kehilangan yang ia rasakan. Setelah itu, orang tua perlu membangun komunikasi yang intim dan terbuka dengan anak dan membantunya untuk membangun hubungannya dengan Tuhan.
Anak yang didiagnosis mengidap kanker memiliki kebutuhan spiritual yang unik. Orang tua perlu mengenali anak dan selalu ada di sisinya. Menangani penyakit kanker dalam keluarga bukanlah hal yang mudah. Rawat anak dengan berfokus pada anak sebagai makhluk spiritual, bukan sebagai anak yang memiliki penyakit mengerikan.
Referensi
Hart, D., & Schneider, D. (1997). Spiritual Care for Children With Cancer. Seminars in Oncology Nursing, 13(4), 263-270.
Weaver, A. J., & Flannelly, K. J. (2004). The Role of Religion/Spirituality for Cancer Patients and Their Caregivers. Healthcare Chapliancy, 1210-1215.
World Health Organization. (2018, September 28). Cancer in Children. Diambil kembali dari WHO Fact Sheets
Zakaryaee, N. S., Atashzadeh-Shoorideh, F., Ahmadi, F., & Fani, M. (2017). Caring strategies in parents of children with cancer. Journal of Pediatric, Hematology, and Oncology, 7(4), 216-223.