Pendidikan keberagaman dan toleransi penting untuk diterapkan, termasuk di pondok pesantren. Keyakinan terhadap suatu agama seharusnya membuat seseorang menjadi pribadi yang dapat menebar kasih sayang kepada sesama manusia dan alam sekitarnya. Namun masih banyak orang yang menjadikan keyakinan sebagai sebuah perbedaan. Bahkan tidak sedikit pula yang berakhir dengan konflik hingga pertumpahan darah, misalnya konflik di Poso.

Konflik yang terjadi di Poso menjadi bukti bahwa perbedaan kepercayaan mampu menyulut konflik yang berujung pertumpahan darah. Konflik tersebut terjadi pada tahun 1998 hingga tahun 2001, dan melibatkan kelompok penganut agama Islam dan Kristen. Akibat konflik tersebut, banyak sekali korban jiwa yang berjatuhan.

Kemudian pada tanggal 20 Desember 2001, ditandatangani perjanjian Malino yang dimediasi oleh Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat saat itu. Setelah penandatanganan perjanjian tersebut, situasi di Poso berangsur mereda.

Keyakinan agama yang sama pun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik. Menurut Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), konflik internal dalam sebuah kelompok agama yang sama biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan mahzab (paham) atau perbedaan pendapat.

Pada tahun 2013, Ketua MUI Jember, Abdul Halim Soebahar, mencatat ada 5 konflik antaraliran yang terjadi di Jember, Jawa Timur. Kelima konflik tersebut melibatkan aliran Qodriatul Qosimiyah, Pesantren Rabbani, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Sekolah Tinggi Dirosah Islamiyah (STDI) Imam Syafi’i, dan konflik Syiah di Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger. Kelima konflik tersebut muncul akibat perbedaan pemahaman dan tafsir.

Mencegah konflik SARA dengan pendidikan keberagaman

Untuk mencegah timbulnya konflik Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) di kemudian hari, penting untuk menanamkan nilai-nilai keberagaman melalui pendidikan. Diharapkan dengan adanya penanaman nilai-nilai keberagaman dalam pendidikan di Indonesia, dapat terbentuk generasi penerus bangsa Indonesia yang berwawasan luas, saling memahami, serta mampu bekerja sama meski dengan latar belakang etnik, bahasa, budaya, dan agama yang berbeda-beda.

Bicara soal pendidikan di Indonesia, tentu kita tidak bisa mengabaikan peran pondok pesantren. Pesantren merupakan jenis institusi pendidikan tertua dan telah lama berakar di dalam budaya masyarakat Indonesia. Pesantren merupakan pusat pengkajian dan pendalaman wawasan ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus sebagai pusat gerakan dakwah penyebaran agama Islam di masyarakat (Maksum, 2015).

Pendidikan Keberagaman dan Toleransi dalam Agama Islam

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama Islam, nilai-nilai yang diajarkan dalam pondok pesantren tentunya berlandaskan pada Alquran dan Hadits, termasuk nilai-nilai keberagaman dan toleransi

Alquran menjelaskan bahwa keberagaman adalah salah satu fenomena yang terjadi di tengah umat manusia. Fenomena tersebut dianggap sebagai ketentuan Allah atau Sunnah Allah. Mengapa manusia berbeda satu dari yang lain? Mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama? Hanya Allah yang tahu dan mampu menjelaskan jawabannya di Hari Akhir nanti.

Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah Dia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitik). Namun Dia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikaruniakan kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Dia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (QS. 5: 48).

Melalui Alquran, Allah  juga pernah menegur Nabi Muhammad SAW, yang pernah menunjukkan keinginan untuk memaksa manusia untuk menerima dan mengikuti ajaran Islam.

Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?” (QS. 10: 99).

Itulah beberapa prinsip dasar dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pendidikan keberagaman dan toleransi. Prinsip tersebut juga menjadi landasan mengenai berjalannya pendidikan di pondok pesantren.

Pendidikan Toleransi di Pondok Pesantren Gontor

Pondok Pesantren Gontor terkenal sebagai pesantren modern pertama di Indonesia. Ciri khas pesantren modern salah satunya adalah memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. 

Di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pendidikan mengenai keberagaman dan toleransi diajarkan dengan dua cara. Dua cara tersebut adalah dengan penyampaian mata pelajaran di kelas, serta penerapan beberapa aturan di lingkungan pondok.

Di kelas, pendidikan toleransi disampaikan dalam bentuk materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dimasukkan dalam kurikulum pondok pesantren. Sementara di luar kelas, pendidikan toleransi menyatu dalam aturan disiplin pondok. Contohnya, dalam aturan penempatan pemondokan (asrama) santri.

Penekanan sosialisasi

Di Pondok Pesantren Gontor, santri tidak akan menempati satu kamar yang sama selama masa pendidikan. Artinya, seluruh santri akan mengalami perpindahan bergilir ke asrama lain. Aturan tersebut akan membuat santri bisa berinteraksi dengan santri lain dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Salah seorang alumni Pondok Pesantren Gontor, Amir Maliki, menjelaskan bahwa guna menumbuhkan pendidikan keberagaman dan sikap toleransi serta pemahaman terhadap budaya lain, satu kamar ditempati oleh para santri yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda, baik Jawa, luar Jawa, bahkan santri dari luar negeri.

Penempatan santri dalam satu kamar ini tidak bersifat permanen. Pondok Pesantren Modern Gontor menetapkan regulasi agar setiap tahun santri diharuskan mengalami perpindahan asrama. Setiap satu semester, mereka juga akan mengalami perpindahan kamar dalam asrama yang mereka huni. Hal ini bertujuan untuk memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya.

Aturan berbahasa

Selain itu, Pondok Pesantren Gontor juga memberlakukan aturan yang melarang santri berbicara menggunakan bahasa daerah. Selain bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa utama, ketika masuk lingkungan pondok, santri hanya dibolehkan berbicara dengan bahasa Indonesia. Itu pun hanya bisa dilakukan pada kesempatan tertentu saja. Pendidikan keberagaman melalui penggunaan bahasa ini bersifat sangat ketat. Bagi santri yang melanggar, akan diberi hukuman bervariasi yang edukatif, misalnya menghafalkan kosa kata tambahan sebanyak 10 kali hingga 1000 kali.

Keberagaman pemikiran dan pendapat juga diajarkan kepada para santri. Hal ini dimaksudkan untuk mengajarkan mereka untuk tidak memaksakan ide dan pendapatnya pada orang lain.

Pola pendidikan toleransi di Pondok Pesantren Gontor juga tercermin dari kurikulumnya yang mengajarkan santri akan ragam keyakinan. Misalnya, dalam bidang studi Dirasah Islamiyah, diajarkan materi khusus Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama) yang membahas tentang sejarah, doktrin, ideologi, fenomena, dan dinamika keagamaan di dunia.

Materi ini sangat penting dalam pendidikan multikulturalisme, karena santri jadi memiliki wawasan mengenai perbedaan mendasar antara agama mereka (Islam) dengan agama-agama lain di dunia. Materi ini sangat berpotensi membangun kesadaran toleransi antarumat beragama yang dapat para santri praktikkan ketika terjun di masyarakat kelak.

Pendidikan Toleransi di Pondok Pesantren Tebuireng

Pondok Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Selain materi pelajaran mengenai pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at, dan bahasa Arab, pelajaran umum juga dimasukkan ke dalam struktur kurikulum pengajarannya, termasuk pendidikan toleransi.

Di Pondok Pesantren Tebuireng, pendidikan toleransi didapatkan para santri dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau Moral Pancasila. Mata pelajaran ini bertujuan untuk mengajarkan santri mengenai kesadaran berbangsa dan bernegara dalam bingkai Indonesia. 

Pemberian materi Pendidikan Kewarganegaraan di Pondok Pesantren Tebuireng bertujuan untuk membentuk santri menjadi warga negara Indonesia yang ramah, toleran, moderat, dan mampu bersikap adil. Dengan kata lain, mata pelajaran ini bertujuan menjadikan siswa paham akan nilai-nilai Pancasila dan mengamalkannya.

Kajian kitab

Selain itu, Pondok Pesantren Tebuireng juga mengadakan kegiatan kajian kitab. Ada satu kitab khusus yang dipercaya mampu membentuk karakter santri yang moderat. Kitab tersebut adalah Kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Paham keagamaan yang dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) ini memiliki ciri-ciri yang mengedepankan sikap toleran, moderat, dan sikap adil. 

Pondok Pesantren Tebuireng juga mengadakan beberapa forum diskusi, di antaranya Forum Bahtsul Masail, Fordislaf (Forum Diskusi Santri Salaf), serta Forum Diskusi Mahasiswa S1. Forum-forum tersebut membahas masalah tafsir dan berbagai macam pemikiran ulama-ulama terdahulu.

Dengan adanya forum diskusi, diharapkan santri dapat membentuk sikap demokratis dan menghargai pendapat orang lain. Apalagi, dalam sebuah diskusi pasti muncul beragam pendapat dan pandangan. Bahkan, paham Ahlussunnah Wal Jama’ah mengakui adanya empat mazhab dalam fiqih (Mahzab Hanafi, Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab Hambali). 

Dari pemaparan di atas bisa dilihat bahwa baik Pondok Pesantren Gontor dan Pondok Pesantren Tebuireng, memiliki pola pendidikan yang unik, tergantung pengelolanya. Penanaman nilai-nilai keberagaman dan toleransi tidak hanya terbatas pada ilmu dan wawasan saja, namun juga dapat diaplikasikan langsung dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang santri.

Referensi: 

Aly, Abdullah. 2015. Studi Deskriptif tentang Nilai-Nilai Multikultural dalam Pendidikan di Pondok Pesantren Modern Islam Assalam. Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume I, Nomer 1, Januari-Juni 2015

Maksum, Ali. 2015. Model Pendidikan Toleransi di Pesantren Modern dan Salaf. Jurnal Pendidikan Agama Islam. Volume 03, Nomor 01, Mei 2015 Hal 82-108

Hukamnas.com. 7 Contoh Konflik Antar Agama Yang Pernah Terjadi Di Indonesia.

Winarmo, Ahmad. 2 Desember 2013. MUI: 2013, Kompas.

Yulianto, Agus. 16 Februari 2019. Republika.