Menjadi ayah tunggal biasanya lebih berat daripada orang tua yang berpasangan, apalagi ketika mengasuh anak yang menderita lumpuh otak. Pasalnya, tanggung jawab mengasuh anak yang biasanya ditanggung bersama pasangan, mau tidak mau harus ditanggung sendiri, baik oleh ayah atau ibu tunggal.
Lumpuh otak atau cerebral palsy adalah kelainan neurologis (otak) yang mempengaruhi syaraf motorik yang mengatur pergerakan tubuh. Penyakit ini biasanya muncul pada masa bayi atau anak usia dini. Fungsi motorik dan koordinasi otot akan mengalami masalah secara permanen, meskipun kondisinya tidak akan memburuk seiring dengan waktu.
Anak dengan lumpuh otak umumnya menunjukkan gejala gangguan perkembangan motorik, misalnya kesulitan menulis, kesulitan menjaga keseimbangan, dan kesulitan berjalan. Sebagian penderita lumpuh otak sering memiliki penyakit syaraf lain, seperti epilepsi, retardasi mental, dan attention deficit-hyperactivity disorder (ADHD). Hal ini yang menyebabkan penderita lumpuh otak membutuhkan perhatian khusus, karena mereka akan mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mandi, makan, dan berjalan (Cogher, L, dkk., 1992).
Mengasuh anak yang mengalami lumpuh otak pastinya akan sangat menguras energi fisik maupun mental, khususnya bagi ayah yang mengasuh anaknya sendirian tanpa pasangan, atau ayah tunggal. Apalagi seorang ayah kerap digambarkan sebagai sosok yang jarang terlibat dalam urusan mengasuh anak atau urusan rumah tangga. Sosok ayah biasanya lebih sibuk di dunia kerja, dan berjuang untuk menghidupi istri dan anak-anaknya (Septiningsih & Cahyanti, 2014).
Curahan hati sang ayah tunggal
Septiningsih & Cahyanti (2014) mengungkapkan bahwa kondisi ini membuat seorang ayah tunggal mengalami kecemasan yang tinggi, fungsi sosial yang buruk, ketakutan yang berlebihan, khawatir, dan merasa bersalah.
“Awalnya saya merasa sedih, seperti ingin menangis gitu. Ditambah istriku kabur, pergi dari rumah. Rasanya seperti apa ya? Sudah tidak bisa diungkapkan. Tapi bagaimanapun juga, Ayu itu kan anakku, sekarang hidup saya hanya untuk anak. Apalagi, Ayu itu belum bisa apa-apa. Padahal sudah berusia 7 tahun. Mandi, ya saya yang mandikan. Makan, saya yang menyuapi. Saya merasa kasihan dengan anak-anak, kasihan sama Ayu. Kalau suatu saat saya mati, siapa yang mau mengurus Ayu.”
Dengan kondisi seperti itu, Septiningsih & Cahyanti (2014) mencari tahu bagaimana ayah tunggal yang mengasuh anak dengan lumpuh otak bisa melewati segala tekanan mental yang dihadapinya. Mereka mewawancarai dua ayah tunggal untuk mengetahui bagaimana kesejahteraan psikologis ayah tunggal dengan anak penderita lumpuh otak.
Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri. Kesejahteraan psikologi individu dapat dilihat dari bagaimana dia bisa menerima kondisi dirinya, bagaimana hubungan sosialnya, tingkat kemandirian, caranya mengatasi dan memandang suatu masalah, tujuan hidup, dan kemampuan untuk mengembangkan potensi (pertumbuhan pribadi).
Dari wawancara terhadap dua ayah yang merawat anak penderita lumpuh otak, didapatkan kondisi psikologis sebagai berikut:
Penerimaan Diri
Kedua ayah sama sekali tidak mengenali apa yang menjadi kekurangan dan kelebihannya. Mereka menganggap bahwa kondisi yang terjadi pada anaknya sudah merupakan takdir, dan mau tidak mau harus dijalani dengan ikhlas karena sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk merawat anak-anak mereka.
Hubungan Sosial seorang Ayah Tunggal
Kedua ayah mengaku memiliki hubungan yang baik dengan anaknya, meski hubungan dengan tetangga dan keluarga kurang dekat. Mereka mengaku selalu berusaha memberikan kasih sayang terhadap anaknya. Sedangkan terhadap anggota keluarga lain maupun tetangga, kedua responden mengaku kurang menjalin komunikasi.
Kemandirian
Kedua ayah memiliki kemampuan yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan anak dan dirinya sendiri. Satu responden mengatakan bahwa dirinya tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya tanpa bantuan orang tuanya. Sedangkan responden lain merasa bahwa penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, kedua ayah sama-sama masih membutuhkan bantuan orang lain, terutama untuk menjaga anak ketika mereka pergi bekerja.
Penguasaan Masalah
Akibat kewajiban untuk bekerja, kedua responden merasa kurang maksimal dalam mengasuh anaknya. Namun, ketika memiliki waktu luang, keduanya akan memanfaatkan waktu tersebut sebaik-baiknya bersama anak mereka masing-masing.
Tujuan Hidup
Sementara itu, terkait dengan tujuan hidup, satu ayah mengaku tidak memiliki tujuan hidup, selain untuk merawat anaknya. Selain itu, dia merasa masih belum fokus dalam menjalani kehidupannya terutama dalam merawat anak-anaknya. Beban itu semakin berat ia rasakan setelah ditinggal pergi oleh istrinya. Sebagai seorang ayah tunggal, dia juga memiliki keinginan untuk menikah lagi, karena dia merasa jika dia punya pendamping tanggung jawabnya dalam merawat anak akan berkurang.
Sedangkan responden lainnya masih belum ingin menikah lagi, dan hanya ingin fokus mengasuh anaknya, serta meningkatkan kehidupan ekonominya. Oleh karena itu ia selalu berusaha untuk bekerja sebaik-baiknya dan pantang menyerah. Akibat dari kerja kerasnya tersebut, dia mulai merasakan adanya peningkatan dalam segi ekonomi.
Dari pembahasan tersebut, disimpulkan bahwa kedua ayah menunjukkan kondisi kesejahteraan psikologis yang berbeda. Namun keduanya memiliki kemampuan yang sama dalam mengatasi masalah pengasuhan. Hal itu terlihat dari bagaimana kedua ayah membagi waktu antara mengasuh anak dan bekerja, serta dalam memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya dengan anak.
Terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi psikis ayah tunggal dengan anak penderita lumpuh otak adalah yaitu faktor ekonomi dan dukungan sosial. Faktor ekonomi dan dukungan sosial disini menjadi penentu perbedaan perlakuan yang diterima oleh masing-masing anak penderita lumpuh otak.
Referensi:
Septiningsih, Dewi Humaira Nurul & Cahyanti, Ika Yuniar. 2014. Psychological Well-Being Ayah Tunggal dengan Anak Penderita Cerebral Palsy. JURNAL Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Volume 3, No. 1, April 2014