Menjadi orang tua dari anak penyandang autisme bisa menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga. Autisme merupakan sebuah kelainan atau disabilitas dalam perkembangan yang memiliki beberapa karakteristik (spektrum), yakni kekurangan dalam interaksi sosial, komunikasi, beraktivitas, serta pola perilaku yang repetitif dan terbatas.

Berbeda dengan disabilitas mental ataupun intelegensi rendah, autisme tidak muncul dalam bentuk keterlambatan perkembangan, melainkan penyimpangan dari perkembangan itu sendiri. Misalnya ketika anak normal biasanya mampu berbicara dengan lancar di usia 5 tahun, anak autis mungkin mengalami kesulitan berbicara bahkan hingga dewasa. Jadi, ini bukan masalah keterlambatan saja. Autisme biasanya baru terdeteksi ketika anak sudah mencapai usia taman kanak-kanak.

Mengasuh anak autis membutuhkan tenaga ekstra, komitmen yang tinggi, sumber daya yang besar, serta perawatan yang intens. Meski autisme tidak dapat disembuhkan, namun anak autisme dapat ditangani, dirawat, dan dididik untuk dapat berfungsi seoptimal mungkin dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab untuk menangani, merawat, serta mendidik ini ada pada orang tua dan keluarga.

Tujuan mendidik dan merawat anak autis tentunya agar anak autis mampu berkomunikasi, bergaul, beradaptasi, berperilaku, belajar, serta mampu mengimbangi anak pada umumnya. Selain itu, tujuan lainnya juga mengurangi perilaku repetitif serta sifat sulit membaur.

Dalam banyak kasus dan penelitian mengenai anak autisme, para orang tua sering dipandang sebagai ‘asisten terapis’. Karena bagi tenaga profesional sekalipun, bantuan dan kerjasama dari para orang tua sangatlah vital dalam mengasuh dan menangani anak autis.

Meski demikian, menjadi orang tua yang mengasuh anak autis bukanlah sebuah peran sepele. Banyak kasus yang memaparkan para orang tua kehilangan ‘kehidupan normal’ mereka. Kehidupan normal yang dimaksud adalah kesempatan bersosialisasi, berinteraksi seperti biasa dengan anggota keluarga lainnya, serta berbagai rutinitas keluarga ‘normal’ lainnya.

Artikel kali ini akan memaparkan sedikit hasil penelitian yang dilakukan oleh Woodgate, Ateah, & Secco di tahun 2008. Penelitian mereka berhasil menggali potret kehidupan orang tua yang merasa terasingkan, selalu waspada dan khawatir, lebih fokus ke keluarga sendiri, serta penuh perjuangan dalam mengasuh anak autis.

Orang tua anak penyandang autisme kerap merasa terasingkan

‘Hidup di dunia sendiri’ barangkali menjadi ungkapan paling tepat untuk menggambarkan kehidupan orang tua dari anak penyandang autisme (Woodgate, Ateah, & Secco, 2008). Tidak hanya anak autis saja yang bisa terperangkap di dunianya sendiri—orang tuanya pun begitu.

Banyak orang tua dari anak penyandang autisme yang merasa sendirian. Semua rutinitas kesehariannya harus dilakukan dengan keringat sendiri.

Perasaan sendiri ini kerap disebabkan oleh masyarakat sekitar. Pendidikan mengenai kesehatan mental yang masih kurang membuat masyarakat masih mengernyitkan dahi dan memandang autisme dengan sebelah mata. Bahkan banyak yang merendahkan dan bersifat diskriminatif terhadap penyandang autisme.

Di sisi lain, orang tua tetap harus merawat anaknya. Merawat anak autis artinya berulang kali mengikuti program intensif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Program ini seringkali melelahkan. Alhasil, banyak orang tua yang merasa lelah dan merindukan kehidupannya yang ‘normal’.

Dalam beberapa kasus tertentu, beberapa orang tua merasa putus komunikasi bahkan dengan keluarganya sendiri. Biasanya dengan keluarga besar (kakek, nenek, om, tante, keponakan, sepupu, dsb.) di luar keluarga inti (ayah, ibu, anak). Anggota keluarga besar yang tidak merasakan secara langsung dampak dari menangani anak penyandang autisme, tentunya mengalami kesulitan untuk berempati dengan orang yang mengasuh anak penyandang autisme secara langsung.

Kesimpulannya, ketika keluarga, kerabat dekat, tenaga profesional, serta masyarakat tidak ada yang mendukung atau mencoba memahami mengenai autisme, saat itu pula orang tua merasa terasingkan.

Selalu waspada dan khawatir

Dengan kondisi anak autis yang butuh perhatian lebih, sangat wajar jika orang tua menjadi lebih waspada, khawatir, dan lebih protektif dari biasanya. Ketika orang tua terbiasa menangani anak penyandang autisme, orang tua jadi lebih ‘awas’ terhadap segala risiko yang mungkin menimpa anak autis.

Kewaspadaan ini terkadang juga bisa berujung menjadi stres. Dalam beberapa kasus, anak autis bisa menjadi sangat sensitif dan lebih reaktif pada hal-hal kecil sekalipun. Kondisi ini membuat orang tua selayaknya berjalan di atas lapisan es yang tipis dan rapuh. Bayangkan jika Anda harus terbiasa dengan kondisi tersebut 24 jam sehari.

Kondisi ini membuat orang tua membentuk pemikiran yang antisipatif. Selalu mengantisipasi beberapa langkah ke depannya agar anak mendapatkan penanganan terbaik. Kewaspadaan dan kekhawatiran ini juga kerap membuat orang tua menjadi lebih berani dan lebih agresif terhadap orang lain demi kepentingan anaknya.

Orang tua anak penyandang autisme perlu menjaga diri sendiri dan keluarganya

Meski jarang diakui, mengasuh anak penyandang autisme itu lelah luar biasa. Bahkan hingga berpotensi menggerogoti keceriaan keluarga. Banyak orang tua yang merasa tanggung jawab satu ini nyaris merampas diri mereka sendiri—yakni keinginan dan hasrat untuk mengedepankan kepentingan diri sendiri. Meskipun terdengar buruk dan egois, namun manusia membutuhkan hal ini sekali-sekali agar tetap sehat lahir batin.

Tak hanya mempertahankan identitas diri, orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan kebahagiaan keluarga secara utuh. Jika ada anak lainnya yang non-autis, maka ia juga harus diperhatikan kebahagiaannya.

Salah satu cara yang ditempuh orang tua biasanya adalah dengan menentukan prioritas. Membagi mana yang perlu diperhatikan dan mana yang bisa diabaikan. Mana yang butuh segera ditanggapi dan mana yang bisa ditunda. Orang tua perlu belajar untuk tidak memikirkan hal-hal kecil secara berlarut-larut.

Namun di sisi lain, banyak orang tua dari anak penyandang autisme juga mempelajari hal baru dari anak autis. Yakni mengenai menghargai pencapaian-pencapaian kecil. Bagi anak biasa, barangkali kemampuan menulis namanya sendiri di secarik kertas merupakan pencapaian yang biasa. Namun bagi anak autis, hal tersebut patut dirayakan dengan riang gembira dan penuh tawa.

Bagi kebanyakan orang tua, mengasuh anak autisme tidak bisa dijalani hanya dengan menjadi orang tua yang baik, namun orang tua harus menjadi pribadi yang memahami dunia lewat kacamata penyandang autisme sekaligus sebagai pendidik masyarakat secara luas.

Referensi

Woodgate, R. L., Ateah, C., & Secco, L. (2008). Living in a World of Our Own: The Experience of Parents Who Have a Child With Autism. Qualitative Health Research, 18(8), 1078-1083.