Kemampuan membaca bayi ternyata dapat dipengaruhi oleh gerak lincahnya. Pada dasarnya, bergerak dan beraktivitas dalam bentuk fisik merupakan syarat penting bagi perkembangan otak. Tak hanya itu, aktivitas fisik juga memiliki efek positif terhadap kemampuan belajar seseorang, termasuk balita sekalipun.
Ketika bayi tumbuh, secara perlahan ia akan belajar menguasai dan menggerakkan anggota tubuhnya. Mengikuti alunan lirik lagu “kepala, pundak, lutut, kaki”, perkembangan motorik bayi pun dimulai berdasarkan urutan tersebut. Dimulai dari membuka mata hingga menggerakkan kepala, lalu lengan, hingga bayi belajar berjalan secara mandiri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perkembangan motorik bayi berpengaruh terhadap banyak aspek dalam perkembangan dirinya kelak. Mulai dari beraktivitas, bermain, berkomunikasi, bersosialisasi, bahkan hingga hal spesifik seperti kemampuan membaca.
Membaca merupakan keterampilan yang vital bagi siapapun. Mengapa kemampuan membaca dianggap penting? Membaca dapat mengembangkan pemikiran, memberikan pengetahuan, serta merangsang aktivitas otak. Dengan terampil membaca, seseorang mampu memperkaya perbendaharaan katanya serta menajamkan kemampuan berpikir. Namun bagi bayi, pentingnya membaca ialah sebagai jendela bagi wujud komunikasi baru yang dapat merangsang tumbuh kembangnya menjadi lebih pesat dan lebih sempurna.
Membaca merupakan proses pencernaan informasi, dan untuk dapat mencerna informasi dengan baik, bayi perlu terlebih dahulu menjalani perkembangan motorik yang tidak terhambat. Dengan kata lain, kemampuan membaca anak dipengaruhi oleh perkembangan motorik anak di kala bayi.
Namun bagaimana bisa kemampuan membaca anak dipengaruhi oleh, misalnya, kemahiran bayi dalam merangkak?
Mencerna informasi baru sebelum bayi mengembangkan kemampuan membaca
Bagi bayi yang baru lahir, segala hal yang ia lihat adalah hal yang baru dan membuat penasaran. Seiring bayi tumbuh, ia akan mencoba untuk mengenali tiap benda dan orang yang ia lihat. Seiring bayi mulai bisa merangkak atau berjalan, ia menjadi semakin mandiri dan bergerak ke manapun ia mau guna mengeksplorasi lingkungannya. Berbagai stimulus yang ia terima dengan panca inderanya tentunya akan melatih si bayi mempertajam indera-indera tersebut. Selain itu, dengan banyaknya pengalaman yang dimiliki bayi dalam bersosialisasi, maka kemampuan bayi dalam mencerna informasi akan semakin pesat dan memudahkannya untuk mempelajari hal baru.
Dengan kata lain, bayi yang di usia awalnya kekurangan aktivitas fisik dan mengalami perkembangan motorik yang tidak optimal biasanya akan sulit untuk bergerak dan mengeksplorasi sekitarnya maupun bersosialisasi dengan individu lainnya. Hasilnya, indera bayi kurang terasah dan kemampuannya untuk mencerna informasi baru tentunya akan lebih tumpul dibandingkan dengan bayi yang lincah bergerak.
Kemampuan mencerna informasi ini tentunya akan membantu bayi belajar membaca dengan lebih efektif. Meskipun tiap bayi memiliki cara-cara yang berbeda untuk belajar membaca, namun semua bayi dapat merasakan manfaatnya ketika ia lancar membaca. Salah satunya ialah kemudahan belajar ketika si bayi mulai sekolah nantinya. Kemampuan membaca anak terbukti penting dalam menjamin kesuksesan anak di kehidupan sekolah, bahkan hingga kehidupan bekerja nantinya.
Lalu kapan bayi bisa mulai diajarkan membaca?
Kemampuan bayi membaca akan muncul pada waktunya
Glenn Doman, seorang peneliti potensi manusia, menyatakan bahwa setiap bayi terlahir dengan kecerdasan berbahasa yang luar biasa. Lebih jelasnya, mari kita bahas. Bagi tiap bayi yang lahir di Indonesia, bahasa Indonesia sendiri tidak lebih asing daripada bahasa Inggris maupun bahasa Jerman. Kemudian waktu berlalu dan tiba-tiba si anak dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Apakah ini berkat jasa orang tua? Mungkin saja, namun tidak sepenuhnya benar. Orang tua mungkin mengajarkan beberapa kata pada anaknya, namun ribuan kata lainnya bisa dipastikan dipelajari secara mandiri dan natural oleh si bayi.
Berdasarkan data dari BrillBaby (2019), anak di usia 12 bulan sudah terbukti mampu membaca dengan lancar. Namun Anda tidak perlu menunggu hingga anak berusia 12 bulan untuk memberi stimulus-stimulus kecil pada bayi. Anda bisa memulainya sejak ia mampu menopang kepalanya sendiri. Akan tetapi, usaha Anda dalam mengakrabkan bayi dengan berbagai jenis bacaan akan menjadi sia-sia jika Anda mengabaikan perkembangan motoriknya.
Bayi memerlukan aktivitas fisik guna mengembangkan ototnya agar ia bisa menjalani kesehariannya dengan mudah. Bayi yang banyak bergerak adalah bayi yang sehat, dan bayi yang sehat adalah bayi yang cerdas. Seringkali kecerdasan bayi muncul dalam bentuk rasa ingin tahu yang besar. Rasa keingintahuan yang besar ini lagi-lagi akan menjadi percuma jika untuk merangkak dan menengokkan kepala saja bayi masih kesulitan.
Mengasuh, mendukung, dan mengajarkan
Kemampuan menyerap informasi milik bayi yang luar biasa ini harus direspon dengan baik juga oleh orang tua. Caranya adalah dengan memfasilitasi perkembangan bayi melalui dukungan material dan moral yang tepat. Mengajarkan bayi membaca adalah salah satunya.
Membacakan cerita pada bayi juga merupakan salah satu kiat dalam merangsang kemampuan membaca bayi. Anda tidak perlu mengajarkan kata demi kata kepada bayi agar ia mampu membacanya.
Bayi belajar melalui konteks. Dengan kata lain, bayi mampu membaca sebuah kata tanpa perlu tahu cara mengejanya selama kata tersebut sering ia temui berulang kali dan diajarkan dengan cara yang menarik.
Referensi
BrillBaby. (2019). Why teach Reading Early? Diambil kembali dari Brillbaby.com
Milne, N., Cacciotti, K., Davies, K., & Orr, R. (2018, September). The relationship between motor proficiency and reading ability in Year 1 children: a cross-sectional study. BMC Pediatrics, 18(1), 294.
Robinson, H. (2017). Your Baby from 16 to 18 Months: Language and Motor Skills. Diambil kembali dari Parents
Viholainen, H., Ahonen, T., Lyytinen, P., Cantell, M., Tolvanen, A., & Lyytinen, H. (2006). Early motor development and later language and reading skills in children at risk of familial dyslexia. Developmental Medicine & Child Neurology, 48, 367-373.