Ketaatan beragama dan rajinnya seorang remaja dalam beribadah dianggap mencerminkan perilaku yang santun pada dirinya. Setiap orang tua pasti akan merasa senang dan bangga saat anaknya mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Itu adalah reaksi yang wajar. Saat anak mendapatkan nilai yang bagus, artinya anak memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi.

Menurut Rus’an (2013), kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan dalam berpikir secara logis dan rasional, yang meliputi kemampuan berhitung, menganalisa, serta mengevaluasi.

Dalam dunia kerja terkadang IQ dan nilai akademik pun kerap menjadi pertimbangan seseorang diterima atau tidak. Bahkan masih banyak perusahaan yang menentukan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebagai syarat bagi pelamar kerja.

Berdasarkan fakta di atas, lantas seperti apa seharusnya sikap orang tua jika anaknya mendapatkan nilai akademik yang buruk? Apakah karena kurangnya ketaatan beragama pada remaja?

Perilaku yang kurang santun

Saat ini, Indonesia memberlakukan Kurikulum 2013 dalam sistem pendidikan nasionalnya. Dalam kurikulum ini terdapat tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, serta aspek sikap dan perilaku. Meskipun aspek sikap dan perilaku termasuk dalam parameter penilaian terhadap ketaatan beragama pada remaja, Risthantri dan Sudrajat (2015) beranggapan bahwa masih banyak guru yang mengeluhkan masalah sikap dan perilaku siswa yang kurang santun.

Ketaatan beragama pada remaja yang dinilai kurang santun misalnya seperti, tidak menyapa atau mengatakan permisi ketika berjalan di depan guru; memanggil orang yang lebih tua dengan namanya langsung; berbicara kasar pada orang lain; sering mengumpat, dan sebagainya.

Risthantri dan Sudrajat (2015) bahkan mengungkapkan bahwa pada jam-jam istirahat dan jam pulang sekolah, banyak siswa yang berkeliaran di luar sekolah untuk nongkrong di warung dekat sekolah. Sebagian besar dari mereka bahkan terpantau merokok. Tidak jarang mereka berbicara dengan bahasa ngoko (bahasa jawa kasar) kepada penjual jajanan yang usianya lebih tua.

Contoh perilaku seperti yang telah disebutkan di atas, tentunya menjadi indikasi yang kurang baik dalam kesantunan siswa. Masalahnya, guru cenderung lebih fokus pada pencapaian prestasi akademik semata (Ujiningsih dan Antoro, 2010, p.2). Ditambah lagi, orang tua pun masih sering menuntut anaknya untuk mendapatkan nilai mata pelajaran yang tinggi.

Tekanan untuk mendapatkan nilai bagus berpotensi mendorong anak melakukan hal yang kurang terpuji, seperti mencontek atau melakukan kecurangan lainnya dalam belajar. Oleh karena itu, penting bagi orang tua, guru, atau tenaga pendidik lainnya, untuk tidak hanya berfokus pada nilai mata pelajaran atau prestasi akademik saja, namun juga ketaatan beragama pada remaja. Mendidik anak menjadi seseorang yang bermoral, sopan, santun, jujur, dan beretika juga tidak kalah pentingnya.

Ketaatan beragama pada remaja

Risthantri dan Sudrajat (2015) mengemukakan adanya hubungan antara praktik ibadah atau ketaatan beragama pada remaja terhadap perilaku sosial serta sopan santun siswa. Mereka mengamati tingkat ketaatan 1767 siswa SMP di wilayah Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, dilihat dari aspek ibadah salat, puasa, membaca Alquran, dan kehidupan sosial. Pada 13% siswa remaja terdapat tingkat ketaatan beragama yang baik, sementara 42% cukup, dan 45% lainnya masuk dalam kategori tidak baik dan sangat tidak baik.

Aspek perilaku sopan santun siswa diukur dari cara berpakaian, berperilaku, bersikap, bertutur kata, dan lain-lain. Hasilnya, 40% siswa dinilai memiliki perilaku yang baik, 40% cukup, dan 20% lainnya masuk dalam kategori tidak baik.

Dari pengamatan tersebut, Risthantri dan Sudrajat (2015) menyimpulkan bahwa ketaatan beribadah mempengaruhi perilaku sopan santun siswa. Semakin tinggi ketaatan beribadah siswa, maka semakin baik pula perilaku sopan santun siswa, begitu juga sebaliknya. 

ketaatan beragama pada remaja tidak hanya mencakup rangkaian ritual seperti salat dan puasa, namun juga mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama, termasuk adab dan tata krama. Ketaatan beragama seharusnya dapat dilihat dari perilakunya sehari-hari, misalnya dari caranya bertutur kata, kebiasaan berderma, dsb.

Referensi:

Rus’an. 2013. Spiritual Quotient (SQ): The Ultimate Intelligence.  Lentera Pendidikan, Vol.16 Nomor 1 Juni 2013 (halaman 91-100)

Risthantri, Putri & Sudrajat, Ajat. 2015. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dan Ketaatan Beribadah dengan Sopan Santun Peserta Didik.  Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS Volume 2 Nomor 2 (halaman 191-202)

Pensil.co.id. 7 Agustus 2019. Pengertian Kecerdasan Intelektual Menurut Para Ahli Serta Contoh & Faktor. https://pensil.co.id/kecerdasan-intelektual/

GMB Indonesia. 2018. Perkembangan Kurikulum di Indonesia hingga Kurikulum 2013 (K13). https://gmb-indonesia.com/2018/05/20/perkembangan-kurikulum-di-indonesia-hingga-kurikulum-2013-k13/