Banyak yang menganggap rumah sebagai aset. Memiliki rumah adalah cita-cita bagi sebagian besar pasangan yang baru menikah. Selain menjadi tempat untuk menjalankan rumah tangga yang baru saja dibangun, rumah juga sering dianggap sebagai aset. Di era saat ini banyak sekali fitur ataupun layanan perbankan yang memudahkan seseorang untuk mendapatkan rumah dengan cara kredit atau cicilan. Metode ini jelas sangat membantu ketika akan membeli rumah. Mengingat peningkatan harga lahan selalu lebih cepat dibanding peningkatan penghasilan atau gaji.

Banyak pihak menganggap rumah adalah aset. Saya pun dulu mengamininya. Seiring berjalannya waktu pemikiran saya nampaknya sedikit banyak berubah. Apakah benar rumah itu adalah aset? Atau justru sebaliknya?

Merawat rumah sebagai aset

Robert T. Kiyosaki menyatakan bahwa aset merupakan segala sesuatu yang dapat mendatangkan pemasukan untuk Anda. Sedangkan liabilitas (lawan dari aset) merupakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengeluaran.

Bro, biaya perawatan rumah itu mahal bro. Yakinlah.

Membangun atau memiliki rumah mampu menghasilkan permasalahan tersendiri. Merawat rumah adalah masalah lainnya. Masalah-masalah sederhana seperti kran bocor atau patah mengharuskan fams untuk mengeluarkan uang minimal 50 ribu rupiah. Itupun tanpa menggunakan jasa tukang. Belum lagi jika air di rumah mati atau sumur kering.

Untuk di Yogyakarta (daerah saya tinggal), jasa tukang pompa air yang biasanya mematok harga jasa sekitar Rp. 100.000 – Rp. 250.000 tergantung tingkat permasalahannya. Untuk biaya suntik sumur mencapai Rp. 1.700.000 – Rp. 2.000.000.

Itu baru masalah air—belum lagi masalah listrik, kayu dan bangunan. Sedikit contoh kasus yang saya alami membuat saya berpikir bahwa rumah saya merupakan liabilitas—rumah bukan lagi aset. Rumah saya adalah sesuatu yang harus saya biayai untuk tetap terjaga.

Saya tidak yakin rumah adalah aset

Di sisi lain, saya semakin yakin bahwa rumah adalah liabilitas dan bukan aset karena kemungkinan saya menjual rumah saya sangatlah kecil. Menjual rumah adalah opsi terakhir yang saya ambil jika ada masalah ekonomi yang saya hadapi di kemudian hari. Rumah saya tidak akan memberikan saya return atau keuntungan karena saya tidak akan menjual rumah saya ini. Meskipun rumahnya kecil, tapi rumah tetaplah rumah, bro. Meski saya menjualnya sekarang, belum tentu saya langsung bisa membeli rumah lainnya lagi.

Ketika saya menganggap rumah saya sebagai beban, otomatis saya akan menyiapkan skema keuangan untuk mengatasi beban biaya yang timbul atas rumah saya. Selain itu, saya dan keluarga saya akan sebisa mungkin menekan biaya perawatan rumah dengan menggunakan hal-hal yang ada di rumah dengan lebih hati-hati.

Kendati demikian…

Meskipun bagi saya rumah merupakan liabilitas, namun saya tetap menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Jika rumah menjadi ruang untuk meraih impian lain atau mewujudkan impian dari anggota keluarga yang ada di dalamnya, toh tidak apa-apa. Membiayai mimpi bukanlah hal yang sia-sia. Membiayai ruang yang nantinya akan membahagiakan anak-anak kita toh tidak ada salahnya. Menciptakan tempat pulang bagi anak-anak nantinya usai lelah melawan kerasnya dunia tentunya bukanlah sebuah aib.

Sepertinya tulisan ini harus segera saya akhiri karena saya harus pulang ke rumah, karena lagi-lagi pompa air mati.

Penulis : Remo Adhy / Penyunting : Vikra Alizanovic