Pemerintah telah mengimbau banyak pekerja untuk menerapkan work from home bersama keluarga. Di sisi lain, Covid-19 menjadi permasalahan yang sejauh ini belum menemukan titik terang. Meskipun sudah ada klaim ditemukannya vaksin untuk Covid-19, tetapi jumlah kasus Covid-19 di berbagai negara tak kunjung berkurang. Covid-19 ini juga memiliki efek domino ke arah yang lebih luas dari sekadar sebagai virus penyebab kematian. Aspek ekonomi, politik, bahkan sosial pun terpapar dampak dari pandemi global ini.
Berbagai aspek dampak pandemi
Tidak sedikit negara-negara yang kewalahan menghadapi pandemi global ini hingga mengakibatkan perekonomian kacau. Di Indonesia, dampak ekonomi yang dirasakan akibat pandemi global ini terlihat dari IHSG yang merosot hingga -0.69% dan beberapa saham BUMN pun ikut merosot. Tidak hanya itu, nilai tukar dolar juga naik cukup tajam di angka 16,127.50 per 7 April 2020. Terlebih lagi, fenomena panic buying masyarakat mengakibatkan tingginya kelangkaan atas kebutuhan alat kesehatan yang saat ini harganya menjulang tinggi.
Tidak hanya perekonomiannya saja, aspek politik pun terdampak. Rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang. Pemerintah dinilai kurang tanggap dalam menghadapi bencana pandemi seperti ini. Saat Menkes Terawan mengumumkan bahwa Indonesia bebas Covid-19 di awal Maret, hal ini ternyata membuat masyarakat lengah. Sehingga saat pasien positif Covid-19 pertama kali muncul di Indonesia, rasa ketidakpercayaan pada pemerintah muncul seketika. Di sisi lain, panjangnya proses administrasi dan birokrasi dalam penanganan kasus Covid-19 di Indonesia menjadi isu politik yang gurih digoreng oleh oknum yang tidak menyukai rezim ini. Hingga akhirnya situasi politik di negeri ini semakin mengeruh.
Aspek sosial menjadi dampak Covid-19 yang paling dirasakan, khususnya oleh masyarakat Indonesia. Berbagai imbauan dan kebijakan yang diberikan kepada masyarakat dirasa cukup berat meskipun tetap harus dilakukan. Misalnya seperti social distancing atau membatasi kegiatan sosial. Tindakan ini menjadi salah satu upaya untuk menghindari keramaian yang berpotensi menjadi pusat penyebaran virus ini. Social distancing yang dinilai kurang tepat diterapkan di masyarakat kemudian diubah menjadi physical distancing yaitu menjaga jarak fisik dalam melakukan interaksi sosial, misalnya 1-2 meter.
Dilema kebijakan work dan school from home dalam keluarga
Selain imbauan untuk melakukan physical distancing, pemerintah juga membuat kebijakan untuk work from home (WFH) dan school from home (SFH) dalam rangka mengurangi proses penyebaran virus. Kebijakan WFH dan SFH inilah yang saat ini dirasa cukup berat dilakukan oleh sebagian besar orang. Kebijakan WFH dan SFH berarti semua aktivitas dilakukan di rumah saja, sehingga suatu keluarga melakukan aktivitas bersama hanya dalam rumah tersebut.
Faktanya, berat sekali untuk menerapkan work from home dan school from home. Karena nyatanya para guru memberikan banyak pekerjaan rumah (PR) untuk anak didiknya sehingga anak-anak tersebut meminta bantuan orang tuanya untuk membantu menyelesaikan PR-nya. Di sisi lain work from home bukanlah liburan keluarga, melainkan melakukan pekerjaan dari rumah. Sehingga pekerjaan kantor dibawa pulang dan diselesaikan di rumah. Kewajiban orang tua untuk menerapkan work from home namun sekaligus membantu anak mereka untuk menunaikan SFH justu menimbulkan masalah baru. Contohnya seperti stres, isu manajemen waktu, me time, bahkan depresi.
Sebuah media luar, The Atlantic, mengungkapkan bahwa work from home dapat menimbulkan stres yang berlebihan karena semua skema ini terkesan mendadak. Meskipun Google sudah melakukan WFH atau remote working sejak dahulu karena ingin meningkatkan psychological safety. Kendati demikian, perusahaan IBM yang menerapkan konsep itu justru mengatakan bahwa WFH tidak efektif, sehingga IBM tidak menerapkannya lagi.
Bekerja dan keluarga
Dalam kasus di Indonesia, budaya patriarkis yang masih kental juga menjadi sebuah dilema bagi para ibu rumah tangga. Biasanya setelah mengantar anaknya ke PAUD atau sekolah, mereka bisa melanjutkan aktivitasnya di rumah dan melakukan me time sampai saatnya menjemput anak. Namun SFH mengharuskan para ibu rumah tangga untuk lebih ekstra bekerja dan menguras fisik serta psikisnya sehingga memunculkan gejala psikologis. Tidak hanya para ibu rumah tangga, para wanita karier yang harus work from home pun juga dapat mengidap masalah psikologis. Mungkin di awal-awal work from home terasa menyenangkan untuk dijalani. Namun jika itu dilakukan dalam waktu yang lama, pekerjaan di rumah justru dapat membuat tidak nyaman karena perbedaan fasilitas antara rumah dan kantor. Hal ini yang juga menimbulkan gangguan psikologis yang cukup mengkhawatirkan.
work from home dan SFH memang saat ini harus dilakukan demi mengurangi kontak fisik dan mengurangi penyebaran virus yang lebih luas. Saya dan istri sama-sama pekerja kantoran. Kami berdua juga merasakan beban berat karena harus bekerja di rumah dengan satu balita aktif yang saat ini hobi merangkak. Hari-hari biasa ketika bayi kami ikut baby school dengan pengawasan para guru, kini harus ditemani di rumah dengan segala aktivitasnya yang aktif. Akan tetapi kami tetap harus menyelesaikan pekerjaan kantor. Remote work mungkin efektif untuk psychological safety, tapi dengan waktu dan keadaan tertentu. Bukan karena keadaan, tapi karena kebutuhan.
Ditulis oleh Ferdi Arifin / Disunting oleh Vikra Alizanovic