Ketika anak lahir ‘berbeda’ daripada anak lainnya, orang tua pasti merasakan banyak hal yang kompleks. Pada tahun 2011, seorang bocah usia 15 tahun dikurung di ruangan sempit di rumahnya oleh kedua orang tuanya. Bocah itu dikurung karena orang tuanya malu. Malu karena anaknya mengidap HIV/AIDS karena perilaku seks menyimpang. Rasa malu yang diemban kedua orang tuanya menyebabkan orang tuanya enggan membawa anak mereka ke rumah sakit.
Di Sukabumi pada tahun 2017, seorang anak laki-laki berkebutuhan khusus usia 14 tahun dikurung oleh ibunya di ruangan sempit selama 8 tahun. Ibunya mengaku melakukan hal tersebut karena anaknya sulit dikontrol.
Di tahun 2019, Efendi, seorang bocah berkebutuhan khusus berusia 12 tahun menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di kandang ayam. Orang tuanya mengurung Efendi di kandang ayam karena Efendi mengidap gangguan jiwa dan sering berkeliaran entah kemana jika tidak dikurung. Orang tuanya mengaku hanya mengurung Efendi ketika kedua orang tuanya pergi bekerja, karena tidak tahu harus dititipkan ke siapa.
Di tahun yang sama, seorang anak autis usia 7 tahun di Bengkulu dikurung oleh ibunya sendiri di sebuah kamar yang berisi sampah yang berserakan. Sama seperti kasus lainnya, sang ibu mengaku hanya mengunci anaknya di kamar ketika ia pergi bekerja.
Akar masalah ketika anak lahir ‘berbeda’
Selain beberapa kasus di atas, masih banyak lagi kasus penanganan anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang kurang manusiawi.
Jika ditilik kembali, akar masalahnya nyaris serupa: kondisi perekonomian yang buruk, serta pengetahuan mengenai penyakit kejiwaan yang kurang memadai, khususnya di daerah terpencil. Problematika ini cukup pelik.
Selain disabilitas fisik, kelainan jiwa pun harus disoroti. Hingga saat ini, pengetahuan mengenai kesehatan jiwa masih sangat minim gaungnya. Meski kepedulian terhadap kesehatan mental dan anak berkebutuhan khusus kerap dikampanyekan di media sosial dan media cetak, faktanya informasi ini masih belum efektif menyentuh lapisan masyarakat bawah.
Kondisi ekonomi yang berkecukupan pun belum menjadi jaminan bahwa keluarga tersebut paham bagaimana menangani anak yang lahir ‘berbeda’. Rasa malu, sedih, marah, khawatir, serta ketakutan kerap menjadi alasan banyak orang tua memilih untuk ‘melindungi’ anaknya dari penghakiman khalayak ramai. Sayangnya, alih-alih melindungi, yang dilakukan banyak orang tua justru berujung menjadi pengasingan terhadap anaknya. Anak berkebutuhan khusus menjadi layaknya alien yang dipandang berbeda, aneh, dan banyak stigma negatif lainnya.
Martabat anak sebagai seorang manusia dikesampingkan. Ini miris.
Seharusnya anak dibantu untuk pulih, dirawat, dibantu, difasilitasi, dan diperlakukan dengan sewajarnya tanpa adanya diskriminasi. Mengurung atau memasung anak yang mengidap gangguan jiwa bukanlah sebuah solusi.
Orang tua harus paham
Orang tua harus menjadi garda terdepan dalam upaya menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Ketika anak Anda lahir dan tumbuh ‘berbeda’ dari anak pada umumnya, orang tua perlu memahami beberapa poin ini:
- Pahami bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Jangan menyerah pada keadaan. Ajari anak untuk menghadapi kondisinya. Jangan biarkan pandangan negatif masyarakat, birokrasi sekolah, maupun hambatan lainnya membuat Anda mengesampingkan tujuan utama—memberi anak dukungan moral dan emosional tanpa henti.
- Perkaya diri dengan informasi. Jadilah ahlinya terkait kondisi anak Anda. Baca buku dan berbagai artikel terkait kondisi anak Anda. Jika tidak ada buku, bertanyalah ke tenaga profesional—staf rumah sakit atau orang tua lain yang memiliki kondisi serupa.
- Lindungi dan wakili anak. Anak berkebutuhan khusus seringkali tak mampu berbicara untuk dirinya sendiri. Sering kali Anda sebagai orang tua dituntut untuk berjuang demi kepentingan anak Anda. Pastikan bahwa kepentingan anak selalu jadi prioritas. Jangan ragu menjadi keras kepala demi anak Anda.
- Jadilah teladan bagi anak, keluarga, dan sekitar. Jika Anda menyikapi kondisi ini dengan tepat, bukan tidak mungkin Anda akan menjadi inspirasi bagi sekitar Anda. Anak Anda pun pasti akan melihat Anda sebagai sosok yang ideal dan patut diikuti.
Jangan biarkan disabilitas mengaburkan pandangan Anda terhadap anak yang lahir berbeda. Seperti apapun kondisinya, dia adalah darah daging Anda yang datang ke dunia karena pilihan Anda. Jangan jadikan sebuah kelainan menjadi sebuah kelemahan. Namun, jadikan kondisi anak yang lahir berbeda sebagai kesempatan untuk mempelajari kehidupan luar biasa penuh makna yang kini menanti Anda. Jangan khawatir, masyarakat dan pemerintah ada untuk membantu Anda.
Referensi
Alami Gangguan Jiwa, Bocah 12 Tahun Dikurung di Kandang Ayam dari Bayi Bahkan Pernah Dikubur Setengah Badan. (2019). Diambil kembali dari Wiken.id.
Anak Ini Dikurung Hingga Meninggal, Gara-gara Orangtua Malu Si Buah Hati Terjangkit HIV/AIDS. (2019). Diambil kembali dari Tribun Banjarmasin.
Anak Sukabumi Ini Dikurung di Kamar Sempit Selama 8 Tahun. (2017). Diambil kembali dari detiknews.
Bocah 7 Tahun Dikurung Ibu di Kamar Penuh Sampah, Ini Fakta-faktanya. (2019, Mei 14). Diambil kembali dari Suara.com.
Healey, B. (2018). Helping Parents Deal with the Fact That Their Child Has a Disability. Diambil kembali dari LD Online: http://www.ldonline.org/article/5937/