Bagaimana menyikapi anak yang ingin pindah agama? Pindah agama di Indonesia tak pernah menjadi persoalan yang mudah. Berbagai bentuk persekusi dan nyaringnya cemooh kerap menghantui mereka yang memilih untuk berpindah keyakinan.

Iman yang goyah merupakan hal yang manusiawi, dan bisa terjadi pada siapa saja, bahkan pada anak-anak sekalipun. Sayangnya, karena usia yang masih belia, konsep pemikiran dan prinsip seorang anak bisa dikesampingkan dengan begitu mudahnya.

Di Iran, seorang pemuda bernama Aida Vazin yang berusia 15 tahun memutuskan mempelajari Islam karena merasa agama keluarganya kurang cocok dengan prinsip hidupnya. Setelah menghabiskan beberapa tahun mempelajari islam, Vazin merasa bahwa perkembangan spiritualnya tidak cocok dengan paham agama manapun. Hasilnya, Vazin dikucilkan oleh keluarga besar bahkan hingga ia berkeluarga.

Kelompok Amish di Pennsylvania, Amerika Serikat, memberlakukan tradisi yang disebut rumspringa, yakni ketika seorang anak yang sudah dianggap dewasa dipersilakan untuk pergi mengeksplorasi dunia luar sebelum si anak memutuskan untuk pindah agama atau tidak.

Pindah agama di Indonesia

Dinamika pindah agama di Indonesia lebih riuh lagi. Dalam satu kasus, anak seorang pengacara kondang beragama Islam memilih pindah memeluk agama lain dan dipersekusi besar-besaran oleh warganet. Pada kasus lainnya,Deddy Corbuzier, seorang host acara TV, sekaligus Youtuber kondang, tadinya Kristen, berpindah masuk Islam. Ia meminta izin ke anaknya sebelum mengucap dua kalimat syahadat. Anaknya mengizinkan, dan masih beragama Kristen tanpa perlu mengikuti jejak ayahnya. Masyarakat pun merespon dengan positif. Kasus pindah agama di Indonesia selalu mendapat sorotan seolah hal tersebut merupakan hal yang tidak umum.

Keinginan orang tua agar anaknya mengikuti keyakinan yang dianut keluarga merupakan hal yang wajar dan lumrah terjadi. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia (UU Perkawinan Pasal 47), anak berusia 18 tahun ke bawah masih dalam tanggung jawab orang tua, dan orang tua wajib mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Kendati demikian, proses membesarkan dan mengasuh anak tidak memiliki batas henti hanya karena anak mencapai usia tertentu.

Pasalnya, banyak anak yang dibesarkan dengan ajaran agama tertentu tanpa terlebih dahulu memperhatikan apa yang anak inginkan. Ketika anak mulai mampu berpikir dan menggali logika atas keyakinannya, sangat wajar anak mulai bertanya-tanya bahkan hingga ingin pindah agama.

Di sini lah tantangan sebenarnya bagi orang tua: bagaimana menyikapinya.

Menyikapi keraguan anak atas agama yang ia pegang merupakan hal yang sama sekali tidak sepele. Sikap membangkang seringkali muncul di fase remaja. Masa-masa ini merupakan masa yang sulit bagi orang tua. Menurut para ahli sekalipun, tidak ada cara yang 100% tepat dalam menyikapinya. Namun demikian, masih ada cara yang cukup baik dalam berkomunikasi dengan anak perihal keyakinan agama ini.

Langkah menyikapi anak yang ingin pindah agama

Harold Horell, seorang asisten profesor di bidang pendidikan agama di Fordham University, New York, mengemukakan mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan orang tua ketika sang anak mulai mengalami keraguan dalam keyakinannya.

Pertama-tama adalah bersikap tenang. Jangan memperlakukan keraguan anak layaknya sebuah dosa besar karena mempertanyakan hal-hal yang menurut Anda sakral. Orang tua harus melakukan pendekatan yang membuat anak merasa nyaman. Tunjukkan pada anak bahwa Anda melihat keraguan itu sebagai sesuatu yang wajar dan tawarkan anak untuk berdiskusi. Menurunkan tensi dari keraguan sang anak untuk pindah agama adalah prioritas utama.

Kedua, tawarkan anak untuk melakukan eksplorasi terhadap keyakinan lain bersama-sama. Kebersamaan dalam hal apapun akan memperkuat ikatan emosional antar anggota keluarga. Tunjukkan pada anak bahwa Anda berpikiran terbuka. Jangan coba-coba untuk langsung mengubah pikiran anak. Coba untuk mencari persamaan dari tiap keyakinan daripada menonjolkan perbedaannya. Dengan begitu, anak akan lebih menghargai agama lain sekaligus memperkuat keyakinannya sendiri.

Terakhir dan yang paling penting, adalah menentukan fondasi nilai yang dipegang oleh sang anak. Lepaskan sejenak urusan agama dan keyakinan. Cari tahu apa yang anak inginkan dan apa yang membuatnya ragu. Ketika Anda sudah menemukan hal tersebut, Anda bisa kembali mengaitkannya dengan nilai-nilai yang ada dalam agama keluarga Anda. Buat anak paham bahwa ini bukan sekedar masalah pindah agama, tetapi masalah prinsip hidup, yang pastinya berhubungan dengan kehidupan beragama.

Komunikasi adalah kunci. Namun terlepas dari keputusan apa yang akhirnya Anda dan anak Anda ambil, ingat ini: Agama tetaplah agama. Tuhan tetaplah Tuhan. Keluarga tetaplah keluarga. Cinta tetaplah cinta. Penggerak keyakinan yang paling utama adalah dukungan dan cinta, karena tanpanya, semua akan sia-sia.

Referensi

Carlson, D. (2017, February 17). How to cope when children seek a new faith. Diambil kembali dari Chicago Tribune

Hamsah. (2019, June 21). Sebelum Ucap Syahadat, Deddy Corbuzier Minta Izin Anaknya. Diambil kembali dari Fajar.co.id

Rachmadsyah, S. (2010, December 17). Hak Anak dalam Keluarga (Memiliki Keyakinan Berbeda dengan Orang Tua). Diambil kembali dari HukumOnline.com