Penulis: Khoirunnissa Hidayati
Editor: Bernadeta Diana
Masa kanak-kanak hingga usia SD adalah masa yang bisa dibilang cukup rentan karena masa tersebut akan memberikan pengaruh yang besar pada perkembangan dan juga pertumbuhan anak. Ketika anak masih belia, orang tua lah yang harus mengajarkan nilai-nilai moral dan juga pendidikan untuk membantu kehidupan anak ketika ia besar nanti. Sebenarnya ada banyak sekali hal yang bisa diajarkan pada anak, namun yang utama adalah pendidikan agama dan juga pendidikan moral. Pemahaman mendasar seputar hal tersebut tentu dapat menghindarkan anak dari tindakan yang merugikan pihak lain seperti kasus penganiayaan terhadap guru yang sempat beredar di pemberitaan.
Memahami Perkembangan Moral dan Agama
Kata moral bisa juga diartikan sebagai ajaran atau nilai terkait konsep baik dan buruk yang diterima secara umum oleh masyarakat. Pendidikan moral berangkat dari pembiasaan diri untuk memberikan pengajaran yang baik dan buruk terkait sikap, perilaku, perbuatan, budi pekerti dan lain sebagainya sehingga nantinya anak dapat membedakan mana hal-hal yang baik dan yang buruk. Dalam teori perkembangan moral oleh Piaget, terdapat 2 tahap perkembangan moral pada anak:
- Heteronomous Morality
Usia anak 5 – 10 tahun, pada usia ini anak sudah mengetahui apakah itu moral, tapi masih belum bisa mengembangkan atau mengubah moralnya. Anak masih belum bisa mengikuti berbagai aturan dan belum bisa menyadari moral yang ia miliki.
- Autonomous Morality
Usia anak di atas 10 tahun, pada usia ini anak sudah memiliki moral, dapat mengembangkan moral dan mengubahnya. Anak sudah dapat mengikuti berbagai aturan yang ada dan sadar terhadap moral yang ia miliki.
Ketika membicarakan tentang moral, kita tidak akan pernah bisa lepas dari agama karena dalam agama, agama apapun itu pasti mengandung nilai-nilai moral. Keith A. Robert pernah mengatakan bahwa umumnya seorang yang menganut agama akan memandang agama dengan erat hubungannya dengan moralitas sehari-hari. Nilai-nila moral yang terdapat pada agama kerap pula dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sosial.
Memperkenalkan Konsep Agama dan Tuhan Tanpa Paksaan
Salah satu cara paling sederhana dalam memperkenalkan agama pada anak adalah dengan melibatkan anak dalam berbagai kegiatan terkait ritual keagamaan. Hal ini dapat dilakukan khususnya ketika anak masih berada pada tahapan heteronomous morality. Misalnya saja dengan membiasakan anak untuk berdoa sebelum makan maupun mengajak anak untuk pergi ke tempat ibadah. Untuk itu, orang tua perlu senantiasa konsisten mengingat anak cenderung meniru perilaku orang-orang terdekat.
Konsep agama serta Tuhan dapat pula diperkenalkan melalui berbagai kisah yang terdapat pada kitab suci masing-masing. Ceritakan dengan bahasa yang sesederhana mungkin agar anak lebih mudah menangkap beragam hal-hal positif yang dapat diteladani. Usai bercerita, ajak si buah hati untuk berdiskusi mengenai hal apa yang ia tangkap dari kisah-kisah rohani. Memperdengarkan lagu-lagu rohani yang membicarakan perihal kebaikan serta keindahan ciptaan Tuhan dapat pula menjadi pilihan untuk memperkenalkan konsep Tuhan pada si kecil dengan cara yang menyenangkan. Intinya, pemahaman terhadap konsep agama serta Tuhan perlu dilakukan secara halus dan tanpa paksaan.
Agama Tak Sekadar Tampilan Luar
Masing-masing agama tentu memiliki atribut tertentu yang salah satunya tampak pada pakaian yang dikenakan. Sebagai gambaran, sebagian orang tua mulai memperkenalkan penggunaan jilbab bagi anak perempuannya semenjak kecil. Alasannya adalah keharusan untuk menutup aurat bagi umat Islam sehingga orang tua menekankan perasaan malu apabila tidak mengenakan jilbab. Jika ditelisik, sebenarnya konstruksi pengetahuan tentang ketubuhan dan juga keimanan yang tertanam pada masyarakat dan diturunkan pada anak perempuannya perlu dipertanyakan. Bagaimana hal-hal seperti itu ditanamkan pada anak perempuan yang masih kecil terkait tubuhnya, padahal pada usia kurang dari 10 tahun, anak-anak masih belum paham dengan moral apalagi agama. Terlebih ketika si anak masih berusia balita dan merasa kurang nyaman dengan pakaian yang dikenakan.
Orang tua harus memahami bahwa keagamaan seseorang tidak sekadar dinilai dari pakaian atau atribut yang dikenakannya. Namun yang dinilai perilakunya, alias moral yang dimilikinya seperti baik terhadap siapa saja, mau membantu yang membutuhkan, rutin beribadah dan lain sebagainya. Tak hanya bertindak baik, pemahaman mendasar perihal agama tentu dapat pula menjauhkan sang buah hati dari berbagai tindakan yang bersifat merugikan serta melukai pihak lain. Memperkenalkan atribut agama sejak dini memang tidak ada salahnya. Namun demikian,alih-alih fokus pada tampilan luar, lebih baik mengajarkan pada anak-anak tentang kasih sayang, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan.
Perpaduan antara metode kognisi dan afeksi bisa jadi upaya dalam membantu anak memahami konsep agama serta moral. Dengan metode kognisi, anak akan berpikir terkait alam semesta dan juga perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan metode afeksi adalah sebagai orang tua mendidik anak dengan menggunakan perasaan. Banyak orang tua yang kurang mampu membaca bahasa tubuh dan juga memahami perasaan anak sehingga memunculkan kekeliruan orang tua ketika mendidik anak. Jangan pernah sekali-kali menginterogasi, mengancam, menyalahkan, membandingkan dan juga membohongi anak apabila kita ingin menumbuhkan sikap anak yang penuh kasih sayang, baik hati namun juga tangguh. Hindari pula menakut-nakuti anak dengan berbagai macam azab dan siksa neraka agar agama tak sekadar dianggap sebagai sumber ketakutan.