Menakuti anak yang bandel dengan cerita seram merupakan metode yang sering dilakukan oleh orang dewasa untuk mendisiplinkan anak.

Waktu itu di Jakarta sedang diadakan sebuah festival yang merayakan ulang tahun Ibukota. Kemeriahan berbagai atraksi tampak di setiap sudut kota. Meskipun waktu itu matahari bersinar dengan terik dan riuh gembira tersebar di mana-mana, Budi, seorang remaja yang baru saja lulus SMA, memilih untuk mengurung diri di rumahnya.

Budi gemetar ketakutan. Keringat dingin mengalir di wajahnya. Kala itu, rombongan ondel-ondel lewat di depan rumahnya. Suara musik khas Betawi dan teriakan riang rombongan bocah kecil yang ikut mengarak ondel-ondel itu tidak membuat Budi merasa lebih baik. Justru sebaliknya, ia memejamkan mata dan menutup telinganya dengan kedua tangannya, dengan harapan ketakutan ini segera berakhir.

Usut punya usut, ternyata sejak masih kecil, ibu Budi sering menakuti anaknya. “Kalau kamu nakal, nanti kamu diculik ondel-ondel lho!” ancam Ibunya tiap kali Budi berulah nakal. Hingga kini Budi sudah remaja, ketakutan Budi terhadap sosok ondel-ondel masih belum juga sirna.

Lucunya, kebiasaan semacam ini cukup umum terjadi, apalagi pada orang tua di Indonesia. Menakuti anak dengan sosok-sosok seram atau sosok hantu menjadi ‘alat’ yang dipercaya efektif untuk membuat anak menjadi lebih penurut. Contoh lainnya seperti mengancam anak akan diculik hantu wewe gombel, diganggu hantu dalam lemari, atau diculik sosok menyeramkan lainnya, seperti ondel-ondel.

Dampak jangka panjang dari menakuti anak

Banyak orang tua yang masih belum tahu bahwa taktik menakuti anak yang bandel dengan cerita seram bisa memiliki dampak jangka panjang yang buruk bagi perkembangan anak.

Pertama, anak bisa tumbuh menjadi individu yang kurang percaya diri. Karena sering ditakuti dengan cerita seram, anak jadi mudah takut untuk melakukan banyak hal dan meragukan keberaniannya sendiri.

Kedua, anak jadi sulit lepas dari orang tua. Karena mudah takut, anak akan jadi lebih tergantung pada sosok yang ia anggap bisa melindunginya. Sayangnya, ketika anak sudah dewasa, kesulitan untuk lepas dari orang tua bisa jadi masalah.

Ketiga, anak menjadi mudah cemas. Tak hanya cemas, anak juga bisa mengembangkan depresi dan stres dalam jangka panjang.

Terakhir, seperti kasus Budi tadi, anak akan menjadi takut pada sosok tertentu tanpa alasan yang jelas, bahkan hingga ia tumbuh dewasa.

Bagaimana sebaiknya?

Menakuti anak yang bandel dengan cerita seram bisa jadi efektif, namun tujuan yang Anda harap justru tidak akan tercapai. Seringkali anak yang sering ditakuti di masa kecilnya, ketika dewasa akhirnya mereka menyadari bahwa semua cerita seram itu hanyalah kebohongan belaka. Kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang bersifat ‘tidak tampak’ akhirnya sirna dan mereka terpaksa mencari kebenarannya sendiri. Sayangnya, upaya mencari kebenaran ini jarang berakhir baik.

Ketika anak menyadari bahwa taktik menakuti ini hanyalah sandiwara belaka, mereka akan bertindak sesuka hati tanpa tahu batasannya. Ketika anak Anda tahu bahwa wewe gombel atau ondel-ondel tidak akan datang menculik mereka, mereka akan terus berbuat nakal tanpa takut.

Sebaliknya, jika anak dibiasakan dengan konsekuensi yang nyata, seperti teguran dari orang tua atau hukuman lainnya, anak akan paham bahwa perilaku yang tidak baik memiliki konsekuensi yang benar-benar ada.

Ketika anak melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai, pastikan bahwa Anda menjadi penyalur konsekuensinya. Jika anak tidak mau tidur pada waktunya, sampaikan bahwa hal itu tidak Anda sukai, minta dirinya untuk menghentikan perbuatannya, dan beritahu apa konsekuensinya jika ia membangkang.

Dan yang penting, pastikan Anda berkomitmen untuk menjalankan konsekuensinya. Jika Anda bilang akan mengurangi uang jajan anak, maka pastikan Anda melakukan itu. Jangan biasakan anak bisa terbebas dari konsekuensi atas perbuatan buruknya.

Tinggalkan segera taktik menakuti anak yang bandel dengan cerita seram. Ajari anak Anda empati. Jelaskan mengapa Anda tidak menyukai perbuatan anak Anda. Berikan konsekuensi yang wajar terhadap setiap perbuatan anak, baik itu perbuatan yang baik maupun buruk. Jadilah teladan yang baik dan tunjukkan perbuatan yang terpuji agar anak mencontohnya.

Referensi

Castillo, R. (2017, Juli 25). Scaring kids with ghosts and monsters can have psychological effects. Diambil kembali dari Lifestyle Inquirer.

Lesley-Anne, J. (2018, Agustus 23). Scaring or scarring: Does the Boogeyman really work for disciplining a child? Diambil kembali dari Parent24.com.

Ravindre, A. (2018, Desember 26).Do You Scare Your Kids With Monsters To Discipline Them? Then Read This. Diambil kembali dari Momspresso.com.