“Lihat kakakmu! Contoh dia!” atau “Itu lihat adikmu! Adikmu saja bisa!” Kalimat yang paling umum dilontarkan orang tua kepada anak. Sering kali orang tua membandingkan anak-anaknya, antara si kakak dan adik. Atau membandingkan secara gender! “Diakan cowok, jadi boleh kamu itu cewek!” adalah kalimat paling umum ketika orang tua membandingkan dan tanpa sadar menciptakan jarak gender pada anak.
Siapa sih yang suka dibanding-bandingkan? Tidak ada orang yang mau dirinya dibandingkan dengan orang lain. Entah dalam kaitan dan tujuan apa. Membanding-bandingkan adalah hal yang selayaknya orang tua hindari, utamanya membandingkan anak.
Anak memiliki keistimewaannya sendiri, tidak bisa orang tua menciptakan kotak harapan untuk anak, dengan memasukkan berbagai parameter dari kotak yang ada di luar diri anak. Entah itu sifatnya membandingkan dengan orang lain, idola apa lagi dengan anggota keluarga lain.
Anak Akan Merasa Tidak Berharga
Jika anak dibandingkan dengan orang lain terutama yang menjadi parameter pembanding adalah sosok yang dekat dengan dirinya, misalnya adik dibandingkan dengan kakak. Akan menjadikan adik merasa tidak berharga.
Si adik akan bersusah payah mencopy keberhasilan kakak, yang bisa jadi bukan keinginan adik. Apa yang kakak bisa lakukan adalah dunia kakak bukan dunia adik. Orang tua tidak boleh menjadikan satu keberhasilan yang diraih salah satu anaknya untuk membandingkan, walau sering kali orang tua berkilah itu sebagai motivasi untuk anak.
Motivasi Macam Apa Yang Didasarkan Pada Membandingkan Anak-Anak?
Anak yang sering dibandingkan mengalami dua masalah, pertama jika anak adalah dibandingkan sebagai pemenang, ia akan tumbuh dengan kepribadian ‘super percaya diri’ ini akan menimbulkan masalah ketika kelak mulai memasuki dunia sosial yang lebih besar.
Anak yang selama ini dipuja-puji diunggulkan dalam keluarga menjadi pembanding utama bagi adik atau kakaknya akan selalu merasa jemawa ketika berada dalam lingkup sosial lebih besar. Jika anak kemudian tidak terbiasa dengan realita penilaian masyarakat, tidak siap menjadi pribadi yang diungguli orang lain, anak bisa mengalami kesulitan.
Sebaliknya anak yang selalu ‘direndahkan’ dalam perbandingan dengan anggota keluarga lain, akan merasa tidak percaya diri. Di dalam keluarga saja tidak dianggap, bagaimana ketika ia akan melakukan sesuatu dalam masyarakatnya, tentu akan kekurangan rasa percaya diri.
Lebih lagi, pada akhirnya anak yang dibandingkan bukannya mendapatkan motivasi bisa mengalami demotivasi, atau berujung ketidakpercayaan pada keluarga, yang akhirnya menjadi benci. Maka berhentilah membandingkan anak-anak kita.
Berhenti Membandingkan Anak-Anak Kita
Apapun alasan dan tujuan orang tua, berhentilah membandingkan anak. Tidak ada anak yang suka dibandingkan. Apalagi dibandingkan di depan umum, di hadapan orang lain, di hadapan teman-temannya.
Biarkan anak-anak kita menjadi apa adanya mereka, tumbuh dan berkembang dengan dunia dan caranya. Setiap anak memili kepak sayapnya sendiri, memiliki tujuannya sendiri. Orang tua memiliki harapan pada anak-anaknya, namun mereka yang menguasai diri dan masa yang menyertai kehidupan mereka.
Berhentilah membandingkan anak-anak kita. Seperti halnya kita tak suka, tidak nyaman ketika dibandingkan dengan orang lain. Menutup tulisan ini, saya kutipkan salah satu sajak Kahlil Gibran dalam Buku Sang Nabi.
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap”.