Bagaimanapun juga, tindakan anak menyiksa hewan tidak bisa dibenarkan. Baru-baru ini publik digemparkan oleh tersebarnya video penyiksaan seekor kucing oleh seorang pemuda. Belakangan diketahui kasus penyiksaan ini dilakukan oleh pria bernama Azzam. Dari kasus video yang disebar Azzam melalui fitur insta stories di Instagram, terlihat seekor kucing yang terkulai tak berdaya dan terlihat sekarat. 

Dalam kondisi si kucing yang sekarat itu, Azzam kemudian meminumkan cairan yang ia sebut ‘ciu bekonang’, yakni sejenis minuman beralkohol buatan lokal, secara paksa ke kucing tersebut. Tak lama berselang, kucing itu lunglai tak bernyawa. Dalam videonya, Azzam menyematkan sebuah kalimat penutup, “Terimakasih Karenamu Aku Dapat Membuat Status Ini”. Menjijikkan.

Warganet geram dibuatnya. Saya pun geram. Marah bukan main. Sempat muncul video klarifikasi yang berisikan pembelaan dan alasan yang menurut saya sudah tidak relevan untuk dibahas. Inti pembahasannya tetap satu, bahwa melakukan glorifikasi dan romantisisasi, apalagi aksi, terhadap tersiksanya makhluk hidup lain bukanlah hal yang bisa dibenarkan.

Untuk itulah saya menulis artikel ini. Saya tidak bisa tinggal diam. Masyarakat perlu tahu bahwa hal semacam ini salah, dan bisa dicegah—jika perlu sejak dini.

Kasus anak gemar menyiksa hewan cukup sering ditemui. Sayangnya, banyak orang tua yang merasa keluguan dan ketidaktahuan anak membuat tindakan tersebut layak ditolerir.

Haruskah orang tua khawatir ketika anaknya “senang” menyiksa dan membunuh hewan?

Untuk menjawab hal ini, saya akan mengutip penjelasan menarik dari Drac Smith, M. A. Menurutnya, orang tua memang sudah sepatutnya khawatir. Banyak pendapat ilmiah yang menyatakan bahwa kesenangan menyiksa hewan merupakan gejala klasik dari gangguan psikopat. Orang tua harus segera menjauhkan anak dari segala macam senjata atau alat yang bisa digunakan anak untuk menyiksa hewan, dan segera mencari pertolongan profesional.

Dalam jurnal ilmiah berjudul “The Relationship of Animal Abuse to Violence and Other Forms of Antisocial Behavior” yang disusun oleh Arluke dkk (1999), ditemukan bahwa banyak anak yang masa kecilnya gemar menyiksa hewan kemudian tumbuh menjadi pribadi yang sering melakukan perilaku menyimpang, seperti tindakan kekerasan, perusakan fasilitas umum, penggunaan obat-obatan terlarang, hingga pembunuhan.

Meskipun tidak semua psikopat berpotensi berkembang menjadi pembunuh berdarah dingin, kebiasaan menyiksa hewan merupakan gejala perilaku psikopat yang sering muncul.

Perilaku psikopat bukanlah sebuah penyakit tunggal. Bahkan ilmu psikologi masih belum bisa memberikan definisi yang tetap terhadap gangguan jiwa satu ini. Banyak yang menyebutnya sebagai sosiopat (seseorang yang lahir dengan kondisi tidak mampu berempati dengan orang lain), namun teori ini masih kurang kuat.

Banyak stereotip yang menganggap perilaku menyiksa hewan ini merupakan dampak dari siksaan yang ia terima pada masa kecilnya. Smith menganggap pernyataan ini sebagai sebuah mitos belaka, karena seorang psikopat bisa saja berbohong untuk menghindari kecaman publik.

Jadi, anggapan bahwa seorang anak yang gemar menyiksa hewan berpotensi tumbuh besar menjadi seorang pembunuh berdarah dingin bukanlah sesuatu yang pasti. Kendati demikian, bukan berarti orang tua bisa duduk tenang. Orang tua masih punya banyak PR yang harus diselesaikan terkait tindakan menyiksa hewan ini.

Peran orang tua mencegah sifat anak suka menyiksa hewan

Orang tua harus menanamkan nilai prososial serta nilai-nilai moral kehidupan kepada anak dengan cara yang mudah dipahami dan mudah diserap oleh anak. Tidak ada obat-obatan yang bisa membantu. Tidak ada penyembuhan ajaib yang bisa menghilangkan kebiasaan anak menyiksa hewan. Solusinya hanyalah kerja keras, kesabaran, dan komitmen untuk mendidik anak.

Satu hal yang cukup berpengaruh adalah gaya pola asuh otoritatif. Jika Anda menerapkan gaya pola asuh otoriter ataupun permisif, anak cenderung akan melanjutkan tindakan menyimpangnya. Gaya pola asuh otoritatif adalah pola asuh yang mengkombinasikan kehangatan kasih sayang dan ketegasan dalam mengasuh anak.

Anak perlu diberitahu ketika apa yang ia lakukan merupakan sesuatu yang salah. Orang tua juga perlu paham bahwa tiap pelajaran membutuhkan metode pengajaran yang berbeda.

Drac Smith mengusulkan penggunaan metode spiritual. Dekatkan jiwa dan keseharian anak dengan hal-hal yang dekat dengan alam dan ciptaan-Nya. Selain itu, menanamkan jiwa ksatria dan welas asih juga bisa membantu anak dalam menyayangi dan melindungi makhluk hidup lainnya, alih-alih menyiksa hewan.

Orang tua harus peka terhadap masalah ini sejak dini. Ketika anak mengunci binatang peliharaan di kandang sempit, memukul atau menendang binatang ketika kesal, atau senang melihat binatang tersiksa hingga berdarah-darah, orang tua harus mengakui bahwa ini adalah masalah. Jangan ragu untuk membawa anak ke psikolog atau konselor lainnya. Semua ini demi kebaikan si anak serta kesejahteraan makhluk hidup lainnya.

Jangan biarkan anak Anda menghasilkan kasus dan tumbuh menjadi Azzam-Azzam lainnya.

Referensi

Arluke, A., Levin, J., Luke, C., & Ascione, F. (1999). The Relationship of Animal Abuse to Violence and Other Forms of Antisocial Behavior. Journal of Interpersonal Violence, 963-976.

Johnston, J. E. (2011). Children Who Are Cruel to Animals: When to Worry. Diambil kembali dari Psychology Today.

Smith, D. (2017). My son “enjoys” torturing animals before killing them. Should I be concerned? Diambil kembali dari Quora Answer Wiki.