Seorang anak pun bisa merasakan jatuh cinta, bahkan di usia belia. Cinta bisa datang kapan saja, bahkan di saat yang tidak diharapkan. Mungkin sebagian besar orang menemukan cinta pertamanya ketika menginjak usia remaja. Namun tidak sedikit juga yang telah menemukan cinta pertamanya di usia dini, bahkan di usia TK.

Bayangkan ketika putra-putri Anda yang baru saja masuk TK mulai bercerita tentang teman lawan jenisnya. Bahkan anak tidak ragu untuk mengakui bahwa dia telah jatuh cinta pada temannya itu. Kejadian seperti itu kadang membuat sebagian orang tua merasa khawatir dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyikapi anak yang sudah jatuh cinta di usia dini.

Sebagian orangtua lain mungkin akan berpikir jika cinta di usia dini hanyalah cinta monyet belaka yang akan berlalu begitu saja ketika sang anak mulai tumbuh dewasa. Bahkan tidak sedikit orangtua yang menganggap sikap anaknya yang sedang jatuh cinta sebagai sesuatu hal yang lucu.

Kendati demikian, pantaskah orangtua menganggap bahwa cinta seorang anak terhadap lawan jenisnya sebagai sesuatu yang lucu?

Ketertarikannya anak terhadap lawan jenis sebenarnya bukanlah hal yang perlu untuk dikhawatirkan maupun dianggap sebagai lelucon. Menurut Dr. Joyce Harrison, seorang direktur program psikiatri prasekolah di Johns Hopkins Children’s Center, TK merupakan saat-saat di mana anak-anak bisa lepas dari pengawasan orangtuanya.

Di sana anak juga mulai mengenal orang lain dan terikat dalam suatu hubungan pertemanan. Bahkan tidak jarang hubungan pertemanan itu membawa seorang anak pada pengalaman pertama jatuh cinta pada lawan jenisnya.

Ketika anak jatuh cinta, ia jadi lebih dewasa

Saat mulai sekolah, anak-anak bahkan mulai mencoba untuk bertindak layaknya orang dewasa. Tindakan tersebut bisa terwujud saat anak-anak bermain rumah-rumahan bersama teman-temannya. Dalam proses bermain rumah-rumahan, peran ayah dan ibu adalah yang paling umum dimainkan setelah peran anak dan hewan peliharaan.

Peran tersebut juga dianggap paling populer di antara anak-anak. Melalui permainan peran tersebut, anak akan mulai belajar untuk mengenali dirinya dan peran yang mereka mainkan untuk mengetahui apa yang harus dia lakukan.

Dalam permainan tersebut, seorang anak mungkin saja bisa sangat menghayati peran yang dia mainkan hingga membuat anak dapat bertindak terlalu jauh. Misalnya saja saat seorang anak perempuan memainkan peran wanita dewasa yang akan menikah, dia bisa saja akan meminta sebuah cincin perkawinan dan akan mengenakannya setiap hari karena terlalu senang.

Mungkin bagi orangtua hal itu hanyalah sebuah permainan dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang serius. Kendati demikian, orangtua tidak bisa begitu saja menertawakan atau meremehkannya begitu saja . Bagaimanapun juga, perilaku yang ditunjukkan seorang anak dalam menghayati perannya merupakan perwujudan dari perasaan yang tulus dan murni. Oleh karena itu, orangtua sebaiknya tidak menertawakannya dan tetap menghormatinya.

Tantangan bagi orang tua

Hal ini jelas menjadi tantangan bagi orangtua untuk memberikan tanggapan respon yang tepat. Yang jelas, orangtua harus mampu membuka komunikasi dengan anak, dan mencoba untuk tidak menertawakannya. Apalagi orangtua mendikte anaknya bahwa mereka belum cukup umur untuk merasakan cinta.

Tanggapan yang kurang tepat akan membuat seorang anak merasa malu. Perasaan ini akan membuat seorang anak menjadi tertutup dan enggan mengungkapkan apa yang dia rasakan kepada orangtuanya.

Untuk menanggapi seorang anak yang sedang jatuh cinta, orangtua bisa mengajukan pertanyaan sedarhana tentang apa yang membuat seorang anak menyukai temannya. Misalnya, “Mengapa kamu menyukai dia?” atau “Apa yang kamu sukai dari anak itu?” Hal-hal sederhana semacam itu akan membuat seorang anak memahami perasaan mereka yang sebenarnya.

Pada akhirnya, meski apa yang dirasakan seorang anak tidak seperti perasaan orang dewasa, tapi apa yang dirasakan anak, termasuk perasaan cinta, merupakan hal yang nyata. Oleh karena itu orangtua sebaiknya tetap menghormatinya.